Tantangan Dakwah - 2
Toto Tasmara, FB Status 7 April 2015
Tantangan Dakwah – 2
Setiap pribadi muslim yang memiliki ghirah keimanan, harus mampu menampilkan dirinya sebagai seorang mujahid dakwah dan harus mampu berpartisipasi aktif di tengah-tengah masyarakatnya sebagai pelita kehidupan (sirajan muniran), menjadi teladan dan motivator unggul, mampu menunjukkan jiwa kepemimpinannya yang dapat saya rumuskan dengan 5E’s kemampuan dakwah, yaitu:
- Example – Ia harus mampu menunjukkan akhlaq, sikap dan kepemimpinan yang menjadi tauladan. Dan mampu menjadi panutan dan rujukan (reference) bagi umatnya.
- Encourage – mubaligh yang mampu menjadi motivator di tengah-tengah umatnya, mampu memberikan serum keberanian, dan semangat untuk beramal prestatif.
- Enable – Mampu menggerakkan dan mendaya gunakan potensi dan kapabilitas SDI (sumber daya insani) untuk mau belajar (ability to learn) dan kemampuan diri untuk berkembang (ability to develop).
- Envision – Memiliki pandangan (visioner), mampu membaca arah jaman dan kemudian menyampaikan pesan-pesannya yang menggerakan umat untuk mengelola diri (self management) dalam rangka persiapannya di hari esok.
- Excellent – Mampu menggerakkan umat untuk meraih cita-cita dan amal optimal yang bersifat extraordinary atau excellent.
Sangat kita sadari bahwa kegiatan dakwah bukan hanya dalam bentuk kegiatan verbal, tetapi juga upaya untuk mengaktualisasikannya dalam berbagai dimensi kehidupan yang bersifat menyeluruh. Sehingga kita kenal dengan istilah total dakwah dimana setiap profesi dapat diabdikan sebagai alat dakwah. Dan tentu saja bila ia berdakwah tidak setengah-setengah tetapi ia lakukan secara total!
Tantangan Dakwah - 2 |
Dengan demikian, setiap pribadi muslim utamanya para mubaligh sebagai pribadi yang bergerak dalam harakah dakwah harus memiliki kompetensi serta mindset yang memiliki wawasan global didalam mengarahkan umatnya menuju izzul Islam wal Muslimin. Kualitas mubaligh hanya dapat terbentuk bila mereka mau meningkatkan kualitas dirinya, mendayagunakan potensi dirinya yang mencakup kualitas 4H yaitu Head (kualitas intelektual), Heart (kualitas spiritual) dan Hand (kualitas keterampilan) dan Hard Worker (kerja keras).
Inilah tugas yang sangat berat yang dihadapi para mujahid dakwah yaitu mengajak semua pihak bekerjasama menegakkan kembali panji-panji Islam yang rahmatan lil alamin tersebut. Bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Selanjutnya, kita ketahui bahwa dalam teori psikologi komunikasi bila stimulus diulang terus menerus, akan masuk kedalam benak seseorang sebagai sebuah citra. Tayangan televisi yang terus menerus secara konsisten memberitakan terorisme, anarkisme, tawuran antara pelajar/ mahasiswa dan lain lain. Bahkan saat ini kita saksikan betapa berita peperangan di Timur Tengah (ISIS) diulang-ulang dan dijadikan sebuah berita utama (headline) yang tentunya agar terbentuk citra negatif, membangun salah gambaran (misperseption) terhadap ajaran Islam yang sebenarnya. Sasarannya jelas adalah demonisasi dan mendiskreditkan Islam. Seharusnya televisi mampu menampilkan berita secara seimbang (both side coverage), itu yang kita maksud dengan pemberitaan yang adil.
Karenanya, dakwah tidak cukup secara lisan yang tampaknya hanyalah bersifat retorika verbal bahkan gerakan seremonial di permukaan yang tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Gerakan dakwah verbal semakin terdengar sayup-sayup, kalah dengan hingar bingar dakwah sekuler yang menawarkan segala bentuk kenikmatan. Datang di pengajian atau shalat berjama’ah saat ini, tampaknya menjadi barang mewah, sedangkan kenikmatan dunia tampaknya ditawarkan semakin murah, bahkan gratis! Dakwah bagaikan deret hitung sedangkan dakwah dajalis bagaikan deret ukur, lha kapan nyusulnya kita?
Tantangan selanjutnya adalah proses pencitraan yang buruk tentang Islam yang dikampanyekan berbagai media elektronik, utamanya televisi, terus mengalir membentuk pendapat publik (public opinion) yang semakin melembaga dalam benak masyarakat global. Seharusnya para da’i dan cendikiawan muslim bukan hanya menyadari manfaat televisi tetapi melihat juga sisi buruk televisi yang sesungguhnya dapat saja program televisi tersebut merupakan bentuk lain dari distribusi ideologi baru, utamanya berbagai produk yang lebih bersifat komersil materialistis, dan para pengelola televisi sadar bahwa mereka harus tampil sebagai mediator atau salesman produk global tersebut.
Saat ini kita menyaksikan begitu maraknya dakwah Islamiyah, bahkan ada satu perusahaan grup media televisi yang menyediakan saluran khusus untuk program dakwah Islam, hanya sangat disayangkan bahwa para ulama tidak atau belum mampu mengkritisi tayangan-tayangan tersebut. Alih-alih menawarkan konsep- konsep kecerdasan beragama, lembaga-lembaga Islam, para ustaz dan para ulama mengalami stagnasi (terhenti dalam status quo) merasa puas bila hanya sekedar menegur tanpa memberikan alternatif.
Begitu besarnya kekuasaan televisi, sehingga para da’i yang tampil tidak lagi memiliki kebebasan menyampaikan pesan-pesannya, melainkan harus diatur dan diarahkan oleh program manager agar tayangan dakwahnya tetap ditonton dan utamanya mampu menaikan rating (peringkat). Maka jadilah da’i sebagai objek yang harus mengikuti pola dan kehendak perusahaan televisi. Mereka berorientasi pada produk komersial dan bukan pada tujuan pesan-pesan yang disampaikannya.
Alih-alih menjadi subjek dakwah, da’i itupun menjadi objek bahkan eksploitasi kepentingan komersial perusahaan televisi. Penampilan da’i dikemas dengan arahan programmer. Sangat disayangkan pula, banyak juga da’i yang ikut menjadi model iklan, tanpa mau kritis apakah redaksi iklannya itu bermuatan kebenaran atau kebohongan yang penting tampil dan dibayar!
Saat ini kita menyaksikan begitu maraknya dakwah Islamiyah, bahkan ada satu perusahaan grup media televisi yang menyediakan saluran khusus untuk program dakwah Islam, hanya sangat disayangkan bahwa para ulama tidak atau belum mampu mengkritisi tayangan-tayangan tersebut. Alih-alih menawarkan konsep- konsep kecerdasan beragama, lembaga-lembaga Islam, para ustaz dan para ulama mengalami stagnasi (terhenti dalam status quo) merasa puas bila hanya sekedar menegur tanpa memberikan alternatif.
Begitu besarnya kekuasaan televisi, sehingga para da’i yang tampil tidak lagi memiliki kebebasan menyampaikan pesan-pesannya, melainkan harus diatur dan diarahkan oleh program manager agar tayangan dakwahnya tetap ditonton dan utamanya mampu menaikan rating (peringkat). Maka jadilah da’i sebagai objek yang harus mengikuti pola dan kehendak perusahaan televisi. Mereka berorientasi pada produk komersial dan bukan pada tujuan pesan-pesan yang disampaikannya.
Alih-alih menjadi subjek dakwah, da’i itupun menjadi objek bahkan eksploitasi kepentingan komersial perusahaan televisi. Penampilan da’i dikemas dengan arahan programmer. Sangat disayangkan pula, banyak juga da’i yang ikut menjadi model iklan, tanpa mau kritis apakah redaksi iklannya itu bermuatan kebenaran atau kebohongan yang penting tampil dan dibayar!
Pokoknya, televisi dengan iklan dan program-programnya menampilkan dirinya sebagai tuhan kedua (the second god) yang mampu mengangkat seseorang menjadi raja (king maker) tetapi juga dapat menjadi alat pembunuh kepribadian seseorang (character assasination). Sayangnya di bidang ini, para cendikiawan kita belum banyak berkiprah untuk melakukan analisa dan penelitian sehingga mampu membekali para da’i untuk tampil dengan tema-tema aktual karena mereka berbicara dengan fakta aktual (dakwah by research).
Apakah kita harus mengatakan “quo vadis“ ICMI, good bye partai-partai Islam? – karena kita tidak pernah mendengar ada gerakan advokasi (pembelaan) terhadap nasib umat.
Apakah kita harus mengatakan “quo vadis“ ICMI, good bye partai-partai Islam? – karena kita tidak pernah mendengar ada gerakan advokasi (pembelaan) terhadap nasib umat.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.
Toto Tasmara
Tantangan Dakwah - 2.