Iman, Aman, Dan Amanah
Toto Tasmara, FB Status 24 April 2015
Iman, Aman, Dan Amanah
Secara etimologis, ketiga kata tersebut berasal dari akar yang sama. Orang yang beriman, ke dalam (personal), melahirkan perasaan aman, damai, dan lapang, serta bila ke luar (sosial) dapat melahirkan ketentraman bagi orang di luar dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah: “al muslim man salimal muslimuuna min lisanihi wa yadihi - bahwa seseorang disebut sebagai seorang muslim (beriman) bila lingkungannya selamat dari lidah dan tangannya”. Bila iman melahirkan rasa aman, maka sudah barang tentu ia berhak menerima amanah. Bukankah barang yang kita titipkan tentu saja kepada seorang yang membuat titipan itu aman. Dan sikap seseorang beriman itu memang adalah amanah!
Karena itu, tiga kata tersebut merupakan untaian yang harus kita hayati dalam satu nafas. Tidak beriman orang yang tidak membuat orang lain aman. Dan tidaklah disebut beriman orang yang merusak amanah. Kita sebutka satu nafas karena ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya adalah bentuk percikan keIlahian yang telah kita yakini bahwa Dia, Allah, itu Maha Penyantun (Al-Ra’uf) dan Pelindung (Al-Muhaymin) serta Pemberi Rasa Aman (Al-Mu’in) kepada para hamba-Nya, dan sebaik-baik “Tempat Bersandar” (Al-Wakil), dan seterusnya.
Maka rasa aman seorang yang beriman diperoleh dari keyakinan dan kesadarannya bahwa dia benar-benar “bersandar” (tawakal) kepada Allah. Ada penuturan menarik dalam Al-Qur’an berkenaan dengan iman dan rasa aman ini. Yaitu ketika Nabi Ibrahim dicerca oleh kaumnya karena meninggalkan kepercayaan lama mereka yang musyrik dan diganti dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agaknya kaum Nabi Ibrahim di Babilonia itu merasa heran, mengapa Ibrahim tidak takut “kualat” meninggalkan berhala-berhala itu. Maka dijawab oleh Ibrahim : “Bagaimana mungkin aku takut kepada berhala yang kamu musyrikkan itu, padahal kamu tidak takut bahwa kamu memusyrikkan kepada Tuhan sesuatu yang tidak diberi-Nya kekuatan apapun terhadap kamu. Maka siapa dari dua kelompok (kami atau kamu) yang lebih berhak dengan rasa aman, jika memang kamu mengerti. Mereka yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kejahatan, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan rasa aman, dan mereka adalah orang-orang yang berpetunjuk. Sesungguhnya Tuhanmu itu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui”. [QS. Al-An’am (6): 81-82].
Karena itu banyak penegasan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang beriman dan berbuat baik tidak akan merasa takut, dan tidak pula merasa kuatir (antara lain, QS. Al-An’am (6):48). Kemudian juga ditegaskan: “Mereka yang berkata, Tuhan kami adalah Allah, kemudian bersikap teguh, maka para malaikat akan turun kepada mereka, dan berkata, janganlah kamu takut, dan jangan pula kamu kuatir, serta bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepadamu. Kami (para malaikat) adalah teman-temanmu dalam hidup di dunia dan di akhirat”. [QS. Fushshilat (41):30].
Berdasarkan jaminan Tuhan itu, maka jika kita benar-benar beriman, tentunya kita diliputi rasa aman, tanpa pernah kuatir dan takut dalam hidup. Sikap ini akan berdampak luas dan banyak sekali. Antara lain kita akan menjadi manusia penuh rasa pecaya diri (self convidence). Psikologi mengatakan bahwa rasa penuh percaya diri adalah pangkal kesehatan jiwa. Dia juga membuat penampilan yang simpatik toleran bersahabat dan damai, serta tidak mudah tersinggung atau berprasangka. Dalam suatu firman Allah yang memuji Nabi, disebutkan bahwa Rasulullah itu toleran karena mendapat rahmat Tuhan (QS. Ali Imran (3):159). Orang yang penuh rasa percaya diri akan dapat menangkal dan menghayati pesan Tuhan: “Hai sekalian orang yang beriman, jagalah dirimu sendiri. Orang yang sesat tidak akan berpengaruh kepadamu jika kamu memang mendapat petunjuk”, [QS. Al-Ma’idah (5):10]. Ini harus kita usahakan kuat tertanam dalam jiwa kita.
Dalam pergaulan sosial, akan tampak aura orang beriman itu ialah memberikan cahaya kebahagiaan (rahmatan lil alamin). Orang beriman itu mencintai kedamaian dan perbaikan (islah) dan menjauhi bahkan membenci sikap yang dapat merusak diri dan lingkungannya (fasad). Bertebaran ayat-ayat Qur’an yang mengatakan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. 28:77).
Akhirnya, masuklah kita pada makna amanah yaitu sikap untuk menerima tugas Ilahi, pengabdian sejati kepada-Nya yang dilakukan secara sadar dan profesional. Jangankan korupsi, orang beriman itu bila datang terlambat saja ia bergetaran hatinya karena rasa malu dan takut, karena ia sadar bahwa ia telah merusak janji dan amanah, padahal salah satu sifat orang munafik yang doanya tidak dikabulkan Allah adalah mereka yang telah berjanji tetapi mengingkarinya. Mereka yang diberi amanah tetapi mengkhianatinya!
Lebih bergetaran lagi hatinya, ketika ia membaca firman-Nya, ”Bahwasanya mereka yang merusak perjanjian, memutuskan silaturahmi dan membuat kerusakan dimuka bumi, sungguh ia akan dilaknat Allah dan di akhirat berada di tempat yang paling buruk (baca berulang-ulang dan renungkan Surat Ar Ra’d ayat 25 ini, bila anda tidak punya Al Quran pinjamlah ke tukang becak yang mangkal di depan masjid (saya terharu ada tukang becak yang sambil menunggu penumpang bergumam membaca Quran yang dipegangnya).
Bila telah membacanya dengan segenap hati, maka lanjutkan membaca surat Al Anfal (surat ke 8) ayat 27: ”Wahai orang yang telah mengaku beriman, maka janganlah engkau berkhianat kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah engkau khianati amanah sedang engkau mengetahui”.
Nah, apakah amanah Allah dan Rasul-Nya itu? tidak lain amanah shalat dan berbuat baik. Apakah tadi subuh Anda telah shalat ? Apakah minggu ini sudah membaca Al Quran dan mentadaburinya?
Toto Tasmara
Iman, aman, dan amanah.