Iman Itu, Perjuangan Tak Kenal Henti

Toto Tasmara, FB Status 21 April 2015

Iman Itu, Perjuangan Tak Kenal Henti

Kita sangat faham bahwa setiap nama tentunya merepresentasikan sifat atau karakter dari nama tersebut. Ambil contoh bila kita menyebut nama "gula", tentulah karakter gula itu manis! Bila ternyata karakter atau rasanya asin atau pahit, maka ada dua hal yaitu ia tidak tahu apa arti nama gula, atau ia menipu menyebut nama gula hanya sebagai cover (bungkus) dari garam atau jamu. Nah begitu juga dengan nama iman yang bahkan dalam proses pemurniannya, ia harus melalui ujian dan proses seleksi yang luar biasa beratnya. Maka dalam memurnikan kualitas karakter iman tersebut ada persyaratan yang sangat berat, antara lain kesungguhan (jihad), ketabahan, dan ketangguhan (sabar). Sebagaimana firman-Nya: “Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja dan berkata, “aku telah beriman“, sedang mereka belum diuji?“, [QS. 29:2, QS. 3:142, QS. 9:16].
iman-itu-perjuangan-tak-kenal-henti
Iman Itu, Perjuangan Tak Kenal Henti
Selanjutnya, salah satu karakter iman adalah sikap percaya sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-Nya (ingat rukun iman), maka iman juga harus dijaga kemurniannya untuk dapat membawa kita kepada kebahagiaan sejati lahir dan batin. Sebab iman akan menimbulkan rasa aman sentosa bila tidak tercampuri oleh hal-hal yang dapat mengotori iman itu, yaitu perbuatan dosa, “Mereka yang beriman dan tidak mencampuri (mengotori) iman mereka dengan kejahatan, maka bagi merekalah rasa aman sentosa, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat hidayah”, [QS. Al-An’am (6):82].

Memperhatikan ayat tersebut membawa kita kepada kesimpulan bahwa terdapat kemungkinan seseorang beriman namun mencampuri atau mengotori imannya itu dengan kejahatan. Pertanyaannya ialah, bagaimana mungkin seseorang beriman kepada Allah namun melakukan sesuatu yang tidak memperoleh perkenan atau Ridha-Nya? tentu bisa saja, karena iman itu sendiri pada hakikatnya tidak statis sebagaimana sabda Rasulullah, “Iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun, maka perbaikilah senantiasa iman kalian dengan laa ilaha illallah!“. Ini menunjukkan bahwa iman bersifat dinamis. Dinamis artinya dapat berkembang atau menyusut, bertambah atau berkurang, naik atau turun, menguat atau melemah. Iman bukanlah wujud atau kategori statis. Hal ini dikarenakan iman menyangkut sikap batin atau hati, yang dalam bahasa Arab disebut qalb (di-Indonesiakan menjadi “kalbu”) yang makna harfiahnya ialah “sesuatu yang berganti-ganti, yang berbolak balik.” Maka tidak membuat iman tersebut, taken for granted, “sekali jadi dan untuk selama-lamanya demikian”, melainkan kita harus menumbuhkan iman itu dalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat yang sederhana, kemudian berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan. Itu berarti bahwa iman menuntut perjuangan terus menerus, tanpa berhenti (jihad).

Karena itulah kita menemukan dalam Al Quran berbagai perumpamaan atau metafor “jalan” sering digunakan dalam agama kita. Istilah-istilah “syariah,” “thariqah,” “sabil,” “shirath,” dan “minhaj” dalam kitab suci semuanya mempunyai makna dasar “jalan.” Artinya kita harus bergerak di “jalan” yang arahnya lurus dan konsisten menuju kepada kebenaran mutlak, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita tidak akan dapat sampai kepada kebenaran mutlak itu, karena kita adalah nisbi (fana).

Walaupun tidak mungkin kebenaran mutlak, namun kita dituntut untuk dengan konsisten (istiqomah) dan tanpa kenal lelah bergerak di atas jalan yang mengarah kepada-Nya itu, untuk memperoleh kedekatan sedekat-dekatnya kepada-Nya. Dan rasa kedekatan kepada Allah itulah yang akan memberi kita rasa aman sentosa, sebagai bagian dari “rasa manisnya iman” (halawat al-iman, seperti tersebutkan dalam sebuah hadist). Maka tingkat tertinggi keimanan ialah tingkat yang semangatnya dapat dipahami dari firman Allah, “Wahai sukma yang tenang kembalilah engkau kepada Tuhanmu dengan penuh kerelaan dan direlakan, kemudian bergabunglah dengan hamba-hamba-Ku dan masuklah kedalam Surga-Ku”, [QS. Al-Fajr (89):27-30].

Tugas kita adalah membersihkan dan membuang segala karakter atau sifat yang tidak mencerminkan tuntutan iman. Bila kita ingin mempersembahkan gula, maka kita harus membuang segala dzat yang memiliki rasa yang tidak manis agar bertemulah kita dengan “gula yang murni“. Karena kita telah diperintahkan Allah, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang benar dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui “, [QS. 2 : 42].

Maka dalam membangun kualitas iman yang murni tersebut, tentulah tidak mudah, ia membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh dan kesabaran optimal, sebagaimana firman Allah, “Apakah kamu mengira akan masuk surga padahal belum nyata siapa orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) dan belum nyata kamu apakah kamu termasuk orang yang sabar”, [QS. 3:142].

Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas iman adalah bentuk perjuangan tak kenal henti, kecuali kalau kelak kita telah terbaring kaku bisu dipelukan pekuburan yang sepi sendiri!

Radhitubillahi Rabba Wa Bil Islami Diina Wa Bi Muhammadin Nabiya Wa Rasuula!
Laa Ilaha Illallah.

Toto Tasmara

Iman itu, perjuangan tak kenal henti.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel